Tampilkan postingan dengan label Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Tampilkan semua postingan

Jumat, 07 November 2014

KRL Jabodetabek dan TransJakarta Kompak Bikin Transportasi Terintegrasi

Demi menyediakan tranportasi umum yang berkualitas dan murah, konektivitas di berbagai transportasi harus dilakukan. Konektivitas yang dimaksud tidak hanya sebatas soal fisik melainkan juga soal sistem yang juga harus terhubung antara satu moda transportasi dengan moda transportasi lainnya.

Menurut Corporate Communication PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) Eva Chairunisa, konektivitas itu bisa dilakukan salah satunya melalui sistem pembayaran.

"Karena memang, prinsip dari integrasi itu bukan hanya integrasi fisik, sarana prasarananya tetapi juga integrasi sistem. Bagaimana orang mudah melakukan pembayaran," sebut dia dalam Dialog MTI Forum di JCC, Jakarta, Jumat (7/11/2014).

Ia mencontohkan, seperti penyelenggaraan tranportasi di negara maju seperti Singapura yang sistem pembayarannya dapat dilakukan lewat satu media kartu pembayaran.

"Misalnya seperti di luar negeri, kita habis turun dari KRL kita bisa naik taksi dengan kartu itu, bahkan naik bus dengan kartu itu," sebut dia.

Di Indonesia sendiri, beberapa kota sudah mulai menerapkan metode serupa. Hanya saja, pemanfaatannya belum sehebat yang diterapkan negara lain.

"Tapi ini awal yang bagus. Meskipun belum ada yang benar-benar satu kartu, tapi sudah ada kartu yang bisa digunakan untuk beberapa moda transportasi," sebut dia.

Dijelaskannya saat ini, pihaknya sendiri telah menjalin komunikasi dengan penyedia jasa transportasi lain seperti PT Transportasi Jakarta (Trans Jakarta) untuk menyediakan fasilitas halte Trans Jakarta yang terhubung secara fisik dengan stasiun Kereta Api. Sedangkan untuk sistem pembayaran, lanjut dia, akan difasilitasi oleh pihak perbankan.

"Untuk tiket sendiri sekarang sudah terintegrasi kan karena tiga kartu bank yang bekerjasama di KRL itu sendiri seperti BNI, Mandir dan BRI itu sudah bisa dipakai juga di Trans Jakarta. Jadi integrasi itu tidak hanya fisik tetapi juga sistem," tegas dia.

Tak Saling Terhubung, Sarana Transportasi di Indonesia Mahal

Biaya yang mahal, dan kualitas pelayanan yang tidak mumpuni membuat minat masyarakat Indonesia untuk menggunakan transportasi umum sangat rendah.

Ketua Umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit menyebut, tranportasi umum yang tak saling terintegrasi satu sama lain membuat masyarakat harus merogoh kocek cukup dalam dalam penggunaannya.

"Transportasi umum kita itu satu sama lain tidak terkoneksi. Untuk menuju satu tempat, kita harus beberapa kali naik turun. Makanya biaya transportasi kita jadi mahal," ujar dia dalam Dialog MTI Forum di JCC, Jakarta, Jumat (7/11/2014).

Selain itu, lanjut dia, tidak terkoneksinya masing-masing moda transportasi membuat pengguna tranportasi umum harus mengeluarkan biaya tambahan.

"Misalnya ada satu stasiun KRL yang kalau mau naik Trans Jakarta harus nyambung naik ojek, karena jarak dari satu titik dengan titik lainnya itu di luar toleransi untuk ditempuh dengan jalan kaki. Di situ ada biaya tambahan," jelas dia.

Dengan demikian, perlu dicari solusi bersama antara pemangku kebijakan dengan para penyedia jasa transportasi.

"Pemerintahan baru ini diharap dapat merespon permasalahan ini," pungkas dia.

Permasalahan ini pula yang dijadikan topik dalam dialog yang menghadirkan pembicara antara lain Ketua YLKI Tulus Abadi, Direktur Utama PT Transportasi Jakarta Ns Kosasih, Humas PT Kereta Api Commuterline Jakarta Eva Chairunisa, dan Ditjen Hubungan Darat Kemenhub Sugihardjo di JCC, Jakarta hari ini.

Ini Penyebab Rumitnya Menata Metro Mini di Jakarta

Menata sistem transportasi massal berbasis mini bus di Jakarta seperti Metro Mini sangat rumit. Penyebabnya kepemilikan sari masing Metro Mini berbeda-beda alias belum terintegrasi.

Direktur Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ) Ditjen Perhubungan Darat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) Sugihardjo mengatakan, transportasi umum di Jakarta sulit diatur lantaran melibatkan terlalu banyak pihak yang berperan sebagai pemilik sekaligus operator.

"Misalnya Metro Mini. Nama Metro Mini memang cuma satu, tapi yang memiliki itu kan masing-masing, nggak satu pihak saja," kata Sugihardjo dalam dialog MTI Forum di JCC, Jakarta, Jumat (7/11/2014).

Kondisi ini membuat tata kelola tranportasi di Jakarta menjadi hal yang sulit direalisasikan dengan baik. Ia mencontohkan soal alokasi Bahan Bakar Minyak (BBM) subsidi untuk transportasi umum akan terkendala bila ada pengaturan atau pembatasan.

"Itu kalau dibilang Subsidi BBM untuk tranportasi umum. Kita kesulitannya dieksekusinya. Yang ngaku banyak, dan itu selalu ribut," ujarnya.

Ia berpendapat, manajemen angkutan umum harus dilakukan oleh satu pihak saja. Namun demikian, hal itu diakui adalah hal yang mudah dikatakan tapi sulit dikerjakan.

"Kendalanya adalah ini kan masalah sosial. Mereka (pemilik angkutan umum) itu kan untuk mendapatkan mobil dan izin saja berdarah-darah. Jadi nggak mungkin kita singkirkan begitu saja," tuturnya.

Pihaknya akan melakukan pendekatan lewat berbagai metode. "Misalnya dari sisi bisnisnya, mereka kita perlakukan sebagai investor tidak perlu jadi operator juga. Nanti kita sharing profit saja, yang mengelola biar satu pihak," katanya.

Sugihardjo menolak anggapan soal gagasan pengelolaan transportasi umum oleh satu pihak sebagai upaya monopoli industri transportasi.

"Ini bukan monopoli karena kan pengelolaannya melibatkan unsur pemerintah, profesional dan masyarakat. Semua diakomodir, jadi bukan monopoli," katanya.

Sabtu, 15 Maret 2014

Minimum service standards needed for Transjakarta

Commuters and NGOs have urged Governor Joko “Jokowi” Widodo to approve the draft proposal for minimum service standards for Transjakarta buses to guarantee an overall improvement in safety and services.

Drafted by the Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), the proposal was first submitted in 2010 to the administration of former governor Fauzi Bowo. It is expected to be implemented in the form of a gubernatorial regulation (pergub), providing guidelines, vision and service targets.

David Tjahjana, the coordinator of a community of Transjakarta users Komunitas Suara Transjakarta, said Transjakarta should not be afraid of adopting minimum service standards.

“Transjakarta should not worry [about a service performance target]. The company simply needs to show a gradual improvement every year. It needs to have an incentive to improve,” he told The Jakarta Post over the phone on Friday.

He said once the minimum service standards were set, Transjakarta could focus on specific problems in order to improve its overall services.

“I believe passenger waiting time should be the main priority. Currently, the schedule is unpredictable and commuters cannot plan their journeys,” he said.

David added that many passengers complained about the inconsistency of bus arrivals in Corridor 8 (Lebak Bulus — Harmoni) and buses serving express routes such as the Senayan traffic circle to Kalideres.

“Even if the buses come once every hour, commuters will definitely prefer having an exact arrival time, which will give them more freedom to plan the rest of their day,” he said.

In addition, the majority of Transjakarta bus passengers still buy tickets at ticket booths because they find it difficult and inconvenient to top up the electronic cards.

Occasionally, passengers experience delays as a result of problems associated with the Transjakarta buses themselves.

Meanwhile, Transjakarta spokeswoman Sri Ulina Pinem said the draft had been submitted to Jokowi. “The SPM [Minimum Service Standards] of TJ [Transjakarta] is currently waiting for consideration by the governor,” she said on Thursday.

Rudy Thehamihardja, a member of the Indonesian Transportation Society (MTI), said he wondered why it took so long for the city to approve the minimum service standards proposal.

He said that minimum service standards for public services were mandatory as stipulated in Government Regulation No. 65/2005 on guidelines to arrange and apply minimum service standards.

“Just compare Transjakarta with the public bus services in Singapore, where people get updates on the location of the buses and the estimated time of arrival, while here, there is no information whatsoever on arrival times,” he told the Post.

ITDP country director Yoga Adiwinarto said he hoped the minimum service standards for Transjakarta would the lead to widespread implementation of minimum requirements for all public transportation services.

“We need to have an organization that functions as an authority to implement the minimum service standards in public transportation,” he said.

Senin, 23 Desember 2013

BRT remains the only solution for Jakarta: Peñalosa

With a population of over 10 million people, Jakarta is suffering chronic traffic congestion. The city administration, under then-governor Sutiyoso, initiated the Transjakarta bus rapid transit (BRT) system back in 2004. Nearly a decade after it began operations, the public transportation mode is still far from adequate to meet public demand.

“Yes, they [the Jakarta administration] copied the name of TransMilenio but they managed it poorly,” commented former Bogota mayor Enrique Peñalosa, who is chairman of the board of directors of the Institute for Transportation and Development of New York. He initiated the BRT system in the Colombian capital starting in December 2000. As of 2012, Colombia had 11 TransMilenio lines totalling 87 kilometers that run throughout the city and transport 47,000 passengers per hour.

Sutiyoso created the Transjakarta BRT to ease traffic congestion. He had warned Jakartans that the capital would grind to total gridlock in 2014. However, the buses have not been fully utilized by the citizens. Last year the average number of passengers declined by 25 percent, to 300,000 passengers from 400,000 per day.

“Passenger numbers have declined because of the long waits. Motorcycles and cars take up lanes, therefore Transjakarta buses can’t effectively use them to escape traffic congestion,” Darmaningtyas, a transportation expert from the Indonesian Transportation Society (MTI) said.

According to its official website, Transjakarta buses operate along a total route length of 184.31 kilometers, claiming to be the longest BRT system in the world. It currently operates 669 buses on 12 corridors.

Despite the stumbling blocks, Peñalosa believes that BRT is the only possible solution to cope with Jakarta’s traffic congestion.

“BRT is not just cheaper but it can be better than subways in many ways. First of all, it’s much better to have public transportation on the surface. Why do we put passengers like rats underground so that people who use cars can use the road and enjoy the sun?

“There are more advantages to the BRT. If you have to move 10,000 passengers in one hour, you will need four trains every 15 minutes. Or you need 120 buses every 20 seconds. That means the waiting time for buses is much shorter,” he explained.

Darmaningtyas had said earlier that the main problem in the operation of Transjakarta buses were external.

“The problems are, among others, unsterile Transjakarta bus lanes, lack of availability of gas-based fuel and a limited number of buses,” he said.

To deal with unsterile lanes, the city administration and the police have begun imposing Rp 500,000 (US$41) and Rp 1 million fines for motorcycles and cars trespassing Transjakarta bus lanes, as stipulated by the 2009 Traffic Law.

Peñalosa also said that with BRT, the distance between each shelter should be about 500 meters, making the distance shorter than on subways which require the distance between each station to be at least 1 kilometer apart.

He even suggested that Transjakarta could provide express buses that stop every 10 or 20 shelters.

Transjakarta Management Body (BLU) spokeswoman Sri Ulina said that starting in 2014, the management would provide 228 new articulated buses and 260 single buses.

“The procurement process has finished and we’re just waiting for the buses to be delivered by the end of this year or very early next year,” she said.

In addition to the procurement of new buses, Transjakarta buses will also operate 24 hours a day starting next year. There will be 88 buses ready to transport passengers from 11 p.m. to 5 a.m. on all 12 corridors.

“We will also recondition old buses so that they won’t compromise the comfort and safety of passengers. The new buses will replace 30 percent of buses that will go out of system due to expired contracts with their operators,” Sri said.

Peñalosa emphasized that the main problems in major cities in developing countries was equality and democracy.

“Rich people in Jakarta, for example, don’t want to give space to buses. They don’t like public transportation; they don’t like anything except their own cars and a few cars of their friends. Not allowing motorcycles on toll roads also means that it is not democratic.”

“However, they love subways. They travel to Paris, London or New York and take the subway there. But if Jakarta had a subway, they would never use it. It’s a matter of social class,” he said. “Traffic congestion is not just an urban problem but it is a democracy problem. It shows that you have the first-class citizens with their cars and the fourth-class citizens who walk.”

Selasa, 22 Oktober 2013

Pak Jokowi, Tiga Koridor Transjakarta Lagi Ya...

Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo diminta untuk sesegera mungkin menyelesaikan tiga koridor transjakarta yang saat ini belum juga ada. Ketiganya adalah koridor 13 (Blok M-Pondok Kelapa), koridor 14 (Stasiun Manggarai-Universitas Indonesia), dan koridor 15 (Blok M-Ciledug).

"Apalagi MRT sudah groundbreaking, monorel juga sudah, rute elevated loopline KRL juga mulai tahun depan," ujar Ketua Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit saat dihubungi Kompas.com, Senin (21/10/2013). Menurut dia, penyelesaian tiga koridor transjakarta itu mutlak.

Guru Besar Universitas Gadjah Mada ini juga menyarankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta segera membenahi infrastruktur transjakarta yang saat ini sudah tidak layak. Sementara untuk pengadaan bus, Pemprov diminta lebih memercayakan pada pihak swasta, yakni operator bus yang selama ini mengoperasikan koridor yang telah ada.
"Pembelian bus serahkan saja ke investasi swasta, yakni operator dengan dibantu kredit lunak dengan bunga ringan dari Bank DKI," kata Danang. Dalam survei Indobarometer yang diumumkan, Kamis (17/10/2013), 74,5 persen responden setuju adanya penambahan koridor transjakarta.
Sementara itu, 72,3 persen responden yakin bahwa transjakarta dapat mengurangi kemacetan di Jakarta. Sejak diresmikan tahun 2004 yang lalu, transjakarta ditargetkan melayani 15 koridor.
Sejauh ini, sudah ada 12 koridor.

Tujuh koridor awal diresmikan pada era Sutiyoso dan empat koridor di era Fauzi Bowo. Satu tahun Jokowi memimpin Jakarta, satu koridor lagi dioperasikan, yakni koridor 12, yang menghubungkan Pluit dan Tanjung Priok.

Kamis, 10 Oktober 2013

Proyek MRT Dimulai, Warga Diimbau Naik Kereta

Kementerian Perhubungan menyatakan manajemen atau rekayasa lalu lintas selama konstruksi Mass Rapid Transit (MRT) di Jakarta sudah disiapkan. "Sudah ada kesepakatan, yang dari Bogor dan Tangerang kalau mau masuk Jakarta, naik kereta saja," kata Menteri Perhubungan, Evert Erenst Mangindaan, di kantornya, Kamis, 10 Oktober 2013.

Ia pun menjelaskan akan ada pengaturan untuk truk. Mangindaan menuturkan, jika semula truk boleh masuk ke Jakarta sejak pukul 10.00, selama konstruksi MRT, ada pembatasan waktu untuk truk.

Sementara itu, pengamat transportasi dari Masyarakat Tranportasi Indonesia (MTI), Dharmaningtyas, menyayangkan pemerintah yang dianggap terlambat mengumumkan rencana rekayasa lalu lintas selama konstruksi MRT. "Seharusnya diumumkan ke publik sekian bulan sebelumnya, soal pengalihan lalu lintas ini," kata dia.

Lebih lanjut, Dharmaningtyas menyatakan ragu dengan proyek MRT. Menurut dia, selama ini Jakarta telah memiliki sistem transportasi serupa, yaitu kereta rel listrik (KRL). "Kalau MRT cuma sampai HI, menurut saya, tidak signifikan," ujarnya.

Pengerjaan fisik megaproyek MRT Jakarta dimulai hari ini. Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo atau Jokowi akan meresmikan pengerjaannya Kamis pagi, 10 Oktober 2013. Tiang pancang yang pertama akan ditancapkan di titik yang sudah dipilih, yakni di antara taman di Jalan Tanjung Karang, di seberang Stasiun Sudirman, Dukuh Atas, Jakarta Pusat.

"Besok, kami menyiapkan bor untuk memulai pemasangan slope protection sebelum membuat terowongan kereta," kata Direktur Utama PT MRT Jakarta, Dono Boestami, kepada Tempo, Rabu, 9 Oktober 2013.

Dono menjelaskan, slope protection adalah sabuk pengaman, agar pengeboran untuk jalur bawah tanah itu nantinya tidak sampai merusak konstruksi bangunan atau jalan di atasnya. Seperti telah direncanakan, stasiun MRT di Dukuh Atas akan terletak persis di bawah Kanal Banjir Barat.

Stasiun itu persisnya akan berada sekitar 24 meter di bawah permukaan tanah. "Lebih dalam dibanding stasiun lain karena harus ada jarak sekitar 8-10 meter dari dasar sungai," kata Direktur Konstruksi PT MRT Jakarta, Muhammad Nasir.

Senin, 17 Juni 2013

Nilai Kinerja Transportasi Jokowi: Niat 8, Hasil 6

Pemerintahan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo alias Jokowi memasuki usia enam bulan. Berapakah nilai kinerja Jokowi dalam mengurusi masalah transportasi, termasuk kemacetan?

"Kalau dilihat dari niatnya, saya beri nilai 8. Tapi kalau dilihat dari hasil, nilainya 6," kata pakar transportasi dari UGM Danang Parikesit dalam diskusi di kantor Tempo, Selasa, 4 Juni 2013.

Koran Tempo selama sepekan, mulai Senin 17 Juni 2013 akan membahas tentang persoalan Jakarta yang masih menjadi pekerjaan rumah Jokowi-Ahok. Danang menjelaskan, di media massa di awal pemerintahannya, Jokowi kerap menyatakan keinginannya untuk menata angkutan umum. Dilihat dari keinginannya itu, nilai 8 pantas diberikan pada Jokowi.

Sayangnya, kinerja Jokowi secara faktual dalam mengurusi masalah transportasi belum menunjukan arah keberhasilannya. "Belum ada hal konkret yang dilakukan dan dirasakan masyarakat," kata Danang yang juga ketua umum Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).

Tidak perlu menunggu proyek-proyek besar selesai, seperti MRT, monorel, untuk menilai kinerja Jokowi. Danang mencontohkan ada dua program yang sebenarnya bisa dilakukan Jokowi, namun nyatanya hal tersebut tidak dilakukan. Padahal dari sisi kewenangan, hal tersebut sepenuhnya berada di tangan Jokowi, tanpa melibatkan kementerian atau Pemda lain.

Dua program tersebut adalah penanganan pejalan kaki dan restrukturisasi trayek angkutan umum. Penanganan pejalan kaki dilakukan dengan membangun trotoar yang layak bagi pejalan kaki. "Itu biayanya murah dan bisa langsung dirasakan masyarakat, dan itu adalah akses pertama untuk ke angkutan umum," kata Danang.

Selama ini, Danang melanjutkan, Jokowi menyatakan keinginannya mendorong angkutan umum. "Tapi kalau orang mau ke angkutan umum saja susah, bagaimana dia mulai bisa mencintai angkutan umum. Karena itu program yang kami dorong dan belum dilakukan adalah investasi besar-besaran untuk pejalan kaki," kata dia.

Selain masalah pejalan kaki, restrukturisasi trayek juga mestinya sudah dilakukan Jokowi. Selama 20 tahun terakhir, trayek-trayek angkutan umum di Jakarta tidak pernah direstrukturisasi. Dia mencontohkan PPD P20 yang sudah 20 tahun tidak berubah rutenya, padahal banyak orang sudah pindah rumah, pindah kantor. "Kan karena adanya perubahan tata guna lahan, rumah pindah, kantor pindah, trayek juga harusnya menyesuaikan," kata Danang.

Restrukturisasi trayek, Danang melanjutkan, harus diikuti dengan perubahan sistem lainnya. Tidak boleh lagi izin trayek seumur hidup. Selain itu, izin trayek juga diberikan dalam bentuk kontrak dan pemberlakuan sistem sebagaimana dilakukan pada TransJakarta. Sebagian risiko harus diambil pemerintah daerah, sehingga operator yakin dia bisa lakukan investasi.

"Itu juga yang ingin kita lihat dilakukan Jokowi dalam waktu dekat. Karena itu urusan dia semua. Pertanyaannya, apakah Jokowi ingin melakukan restrukturisasi trayek?" kata Danang.

Senin, 10 Juni 2013

Kopaja AC, "Feeder" atau Pesaing Transjakarta?

Bus kopaja AC S602 diluncurkan untuk menjadi penghubung (feeder) pendukung bus transjakarta. Namun, rute bus ini yang sepenuhnya menggunakan jalur khusus untuk transjakarta, mengundang pertanyaan atas fungsinya sebagai feeder tersebut. Penyusunan ulang rute bus di Jakarta dinilai mendesak dilakukan, untuk mengoptimalkan sarana transportasi massal ini.

"Sebaiknya dilakukan penyusunan ulang rute angkutan umum, baru kemudian nanti dikategorikan lagi mana yang di rute utama dan mana yang feeder," kata pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) Danang Parikesit, Minggu (9/6/2013). Fungsi feeder seharusnya adalah pengangkut penumpang dari permukiman untuk terhubung ke jalur utama yang dilayani angkutan utama seperti desain bus transjakarta.

Karenanya, keberadaan angkutan umum "berstatus" feeder, tetapi menggunakan sepenuhnya jalur bus transjakarta, tidak tepat dan hanya memunculkan tumpang tindih. "Kita (masih) tidak bisa buat rute feeder yang baik," kata Danang.

Selain itu, Danang juga mengkritisi sistem setoran dalam operasional kopaja AC. Menurut dia, sistem setoran itulah yang membuat sebagian sopir bus tersebut membandel dengan keluar jalur khusus bus transjakarta untuk mendapatkan penumpang.

Danang berpendapat, bila kopaja ini dirancang menjadi pendukung bus transjakarta, maka sistem yang digunakan pun tak bisa lagi berbasis setoran. Seharusnya, ujar dia, sistem yang digunakan pun sama dengan bus transjakarta yang menerapkan penggajian berbasis jarak tempuh, untuk para jurumudi.
"Ini sebenarnya terkait sistem kontrak. Saya lihat kontraknya belum kontrak berdasarkan kilometer jarak tempuh (gaji), jadi hanya mengandalkan penghasilan dari penumpang (setoran). Kalau sudah sistem killometer itu tidak akan terjadi,"  papar Danang.

Rute Kopaja AC S602 (Ragunan-Monas) diluncurkan pada Rabu (5/6/2013) lalu di Terminal Ragunan. Untuk rute, bus akan berangkat dari Terminal Ragunan hingga perempatan Kuningan. Di ruas jalan ini bus akan melalui jalur Koridor VI (Kuningan-Dukuh Atas) transjakarta.

Kemudian dari perempatan Kuningan, bus akan belok kiri melewati jalan Gatot Subroto menuju ke arah Semanggi. Di rute ini bus akan melewati jalur Koridor IX (Pinang Ranti-Pluit) transjakarta. Setelah melewati halte Semanggi, bus akan memutar bundaran dan kemudian akan menyusuri Jalan Sudirman dan Thamrin sampai akhirnya tiba di Monas. Pada rute Sudirman-Thamrin, Kopaja AC S602 melintasi jalur Koridor I (Blok M-Kota) transjakarta.

Saat peluncuran, Ketua Umum Kopaja Nanang Basuki mengatakan alasan dipilihnya jalur Ragunan-Monas karena di jalur tersebut melayani dua ikon wisata Ibu Kota. Selain itu, di sepanjang jalur tersebut juga terdapat banyak kawasan perkantoran. Tujuannya, sebut dia, adalah mengurangi penggunaan kendaraan pribadi pada jalur tersebut.

Rabu, 22 Mei 2013

Egoisme, Penyebab KRL-TransJakarta Tak Kunjung Terintegrasi


Sama-sama meluncurkan e-ticketing atau tiket elektronik, tetapi KRL Jabodetabek dan bus transjakarta tak kunjung terintegrasi. Keduanya memiliki tiket sendiri-sendiri, bukan semata persaingan sebagai sesama moda transportasi. Egoisme dalam bersaing dituding sebagai penyebab utama tak juga terhubungnya kedua tranportasi massal tersebut.

Egoisme persaingan tak hanya terkait kedua moda transportasi itu sendiri, tetapi ditengarai sampai melibatkan perbankan yang mendukung penggunaan tiket elektronik di masing-masing moda. "Integrasi antarmoda sebenarnya sederhana kalau masing-masing pihak baik itu pemda se-Jabodetabek, perusahaan yang berpartisipasi, ataupun bank penyedia layanan e-ticketing tidak ada ego dan sama-sama membuka diri," ungkap pengamat transportasi dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI), Danang Parikesit, di Jakarta, Selasa (21/5/2013).

Danang berpendapat, jika pihak-pihak tersebut dapat saling membuka diri, dia yakin jumlah penumpang baik KRL Jabodetabek maupun bus transjakarta dapat meningkat dan menguntungkan semua pihak. Menurut dia, pemerintah dan Bank Indonesia sebaiknya mengoordinasi sejumlah bank penyedia layanan  tiket elektronik agar integrasi antar-moda transportasi menjadi lebih mudah.

"Integrasi akan membuat pasar baru, market-nya justru akan lebih besar. Saya kira leadership Bank Indonesia sebagai pengatur sistem keuangan di perbankan dibutuhkan dalam regulasi e-ticketing untuk mengintegrasikan antar-moda itu," kata Danang.

PT KCJ selaku operator layanan KRL Jabodetabek yang berada di bawah PT KAI Jakarta telah mengumumkan bahwa terhitung 1 Juni 2013 sistem tiket elektronik akan mulai diterapkan pada pelayanan KRL Commuter Line. Dalam sistem tiket elektronik ini, PT KCJ menggandeng PT Telkom untuk pengoperasian dan pemeliharaan sistem tersebut.

Sementara untuk bus transjakarta, pada akhir Mei 2013 layanan transportasi yang berada di bawah pengelolaan Pemprov DKI Jakarta ini direncanakan akan mulai menerapkan tiket elektronik di semua koridor. Untuk sistem tiket elektronik bus transjakarta, pihak TransJakarta mengadakan kerja sama dengan lima bank, yakni BNI 46, BRI, Bank Mandiri, BCA, dan Bank DKI.