Kondisi ini turut memengaruhi rendahnya produktivitas tenaga kerja di bidang angkutan di Jakarta. Padahal, angkutan merupakan satu dari empat jenis usaha di sektor tersier yang menguasai 71,4 persen total struktur ekonomi Jakarta. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik DKI Jakarta 2012, produktivitas sektor tersier menempati urutan paling bawah dibandingkan dengan sektor primer dan sekunder.
Menurut Ketua Umum DPP Organda Eka Sari Lorena, Rabu (10/4), transportasi massal di Jakarta tidak dipersiapkan sebagai sektor usaha yang baik. ”Yang terjadi saat ini, biaya transportasi menjadi sangat mahal. Orang harus menghabiskan minimal 30 persen dari pendapatan untuk biaya transportasi. Ini tidak efisien,” katanya.
Sementara itu, pengusaha transportasi massal dibiarkan berpikir untuk menghidupi dirinya sendiri tanpa ada insentif apa pun. Untuk pembelian kendaraan umum pun dibebankan bunga 9-25 persen, dengan uang muka minimal 30 persen. Belum lagi pungutan liar di jalan.
”Kalau sudah terbebani persoalan ini, boro-boro pengusaha berpikir menyelenggarakan angkutan umum yang bagus. Pendapatan sudah habis untuk mengangsur cicilan dan operasional,” tuturnya.
Sebaliknya, kendaraan pribadi mendapatkan keringanan bunga 4-6 persen. Akibatnya, orang memilih membeli kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Tidak heran terjadi ledakan jumlah sepeda motor. Imbasnya, penumpang angkutan umum kian merosot dan kemacetan kian parah.
Eka mengingatkan, dua tahun lalu, jumlah angkutan umum massal 5 persen dari jumlah kendaraan. Angkutan umum itu melayani 20 juta perjalanan. Saat ini, jumlah kendaraan umum hanya 3,8-4,1 persen. Bus yang ada hanya mengangkut 38 persen dari 30 juta perjalanan atau 11,4 juta perjalanan.
Berdasarkan data Jabodetabek Urban Transportation Policy Integration (Jutpi) tahun 2010, bus hanya melayani 12,9 persen dari total perjalanan di Jakarta. Sebanyak 48,7 persen dilayani sepeda motor dan 13,5 persen dilayani mobil, taksi, atau bajaj. Tahun 2002, bus masih melayani 38,3 persen perjalanan.
Eka menegaskan, bila terjadi kemacetan total pada 2014, biaya ekonomi yang harus ditanggung Jakarta akan kian tinggi. Untuk mencegah terjadinya kemacetan total, pembenahan angkutan umum harus menyeluruh.
Menurut Pengusaha metromini Azas Tigor Nainggolan, pengusaha saat ini hanya bertahan saja tanpa mampu mengembangkan usaha. ”Dari 12 unit bus yang saya punya, hanya 3 yang jalan karena penumpang sedikit,” ucapnya.
Bus yang tidak beroperasi akhirnya dikanibal suku cadangnya untuk mengganti suku cadang bus yang beroperasi. Kemacetan juga membuat perjalanan bus tidak efisien. Untuk menempuh jarak sekitar 5 kilometer dibutuhkan waktu sampai 2,5 jam pergi-pulang.
Revitalisasi rute
Keberpihakan pemerintah juga dinilai masih rendah. Tarif bus yang berlaku saat ini, menurut Tigor, merupakan tarif yang berlaku sejak tahun 2000.
”Skema revitalisasi dari Pemprov juga tidak jelas. Sampai sekarang, tidak ada evaluasi rute dan trayek untuk mengintegrasikan bus dengan bus transjakarta atau KRL. Sementara izin trayek bertambah terus,” katanya.
Dia menambahkan, trayek yang berlaku saat ini dibuat oleh pengusaha. ”Keluarga saya membuat tiga trayek. Untuk dapat satu trayek, bisa habis ratusan juta,” ucap Tigor.
Hal senada disampaikan Porman, pengusaha KWK. ”Sekarang kondisi kami asal jalan saja. Kalau rute masih melewati permukiman penduduk, masih bisa ada penghasilan. Namun, kalau sudah di dalam kota, sulit dapat penumpang,” katanya.
[Kompas]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar