Itulah uneg-uneg pelanggan busway yang disampaikan pada detikcom, Kamis (14/9/2006). Inilah sebagian curhat mereka:
Trie: Nama saya Trie, dan saya pengguna setia busway khususnya pagi hari di jam kerja. Saya sangat setuju dengan pendapat bahwa penumpang busway itu saking padatnya sampai bisa disebut ikan sarden.
Sebelum ada HCB, saya biasa naik busway dari halte pecenongan. Karena saya menuju Blok M, saya harus naik jurusan Pulogadung, lalu turun di Monas dan melanjutkan ke Blok M. Jadi saya sudah terbiasa dengan antrean yang sangat panjang dan lama, dimana orang sibuk sikut kanan kiri untuk bisa naik lebih dulu. Ketika HCB selesai dibangun, terus terang saya merasa lega karena saya pikir tak akan lagi terjadi antrean seperti itu. Tapi ternyata saya salah, karena antreannya justru lebih parah. Busway yang sampai di Harmoni seringkali dalam keadaan 1/2 atau 3/4 penuh, sehingga penumpang dari Harmoni hanya bisa naik sebagian kecil saja. Kenapa ya tidak disediakan beberapa busway yang benar-benar masih kosong untuk mengantisipasi terjadinya hal seperti ini? Karena yang namanya pusat pergantian jalur busway itu pasti akan sangat padat, terutama di waktu masuk dan pulang kerja.
Sebelum ada HCB, tiap saya naik busway menuju Blok M, meskipun memang selalu berdiri, tapi saya setidaknya masih bisa "memilih tempat" yang sekiranya nyaman untuk berdiri. Tapi semenjak ada HCB itu, jangankan memilih tempat, untuk bisa masuk pun saya sudah beruntung.
Joserizal: Saya pelanggan busway juga, tiap hari pagi dan sore pasti naik busway. Memang sih sangat setuju dengan adanya busway, tapi dilihat dari sisi time management- nya memang sangat parah. Saya naik dari Pulogadung, yang lucunya busway sudah antre panjang, orang-orang juga sudah berjejal, tapi pengecekan dilakukan kalau busway yang satu sudah ingin berangkat. Padahal dari tadi busway sudah datang kenapa tidak diadakan pengecekan. Waktu busway mau berangkat baru diadakan pengecekan, itu kan makan waktu.
Kemudian di lampu merah Harmoni, antrean busway setelah halte Pecenongan menuju Harmoni bisa sampai setengah jam.Karena busway lewatnya satu-satu,apalagi yang antre bercampur dengan busway koridor III, jadi harus tunggu lampu hijau berikutnya. Pendirian halte Harmoni (HCB) juga malah bikin parah, masa pukul 9 malam antrean masih panjang.
Willy Juanda: Beberapa waktu lalu (Mei 2006) saya juga pernah naik busway/Transjakarta sehabis pulang kerja. Saya naik dari pasar baru ke arah Mal Citraland\/Ciputra. Jam menunjukkan kira-kira 19:30 (hari Sabtu). Saya harus menunggu sekitar 1 jam agar dapat naik bus Transjakarta. Bus memang ada lewat kira-kira setiap 15 menit, tapi penuhhh. Sebenarnya sudah tidak dapat menambah orang lagi pada bus tersebut. Karena petugas merasa kasihan, para penumpang yang sudah menunggu lama akhirnya diperbolehkan 1-2 orang naik ke bus lagi. Tapi untungnya AC di dalam bus bekerja cukup maksimal sehingga masih cukup dingin. Benar-benar bagaikan ikan sarden, tapi untungnya masih ada AC.
Itulah pengalaman saya pertama kali naik bus Transjakarta yang katanya Cepat,Aman, Nyaman dan Murah itu.
Florin V: Saya punya pngalaman waktu di halte Jembatan Gantung menuju halte Jelambar, busway yang lewat cuman bisa "mengambil" 1-3 orang dari banyak orang yang ngantre! Malah, ada busway yang sama sekali sudah tidak bisa "ngambil" satu orang pun, gara-gara sudah dijubeli penumpang dari halte sebelumnya.
Takut terlambat kuliah setelah menunggu 15 menit tanpa hasil, akhirnya saya keluar dari antrean dan memilih untuk naik bus kota biasa, daripada menunggu busway yang cuma bisa mengangkut 1-3 orang Kapan saya bisa masuknya coba? Yang ada entar maunya cepet, malah jadi terlambat.
Edy Wijaya: Saya kalau naik busway hirup nafas dikit-dikit, karena pasti banyak penyakit dan takut tertular. Pernah suatu kali, datang 4 busway Sawah Besar - Kalideres. Jadi gitu deh, bus belakang jadi kosong. Mubazir kan.Terus yang hebatnya, sesudah lampu merah dari Juanda mau ke Tomang, tiba-tiba bus depan saya berhenti. Si sopir busway (depan bus yang saya tumpangi) beli rokok sama asongan.
Fransisca Caroline: Saya juga mau curhat tentang tidak enaknya naik busway sekarang ini. Selain kurangnya pengontrolan untuk jumlah penumpang yang naik dan turun sehingga membuat busway jadi penuh sesak seperti ikan sarden, mungkin lama-lama juga busway akan sama dengan bus lokal lainnya yang selalu menghimpit-himpit penumpang, menjejali penumpang, padahal ruang untuk berdiri saja sudah tidak mungkin hingga membuat udara sekitar jadi pengap. Belum lagi belakangan ini sopir busway juga tidak beda dengan sopir bus-bus umum seperti Metro Mini, Kopaja atau Patas AC lainnya. Mereka menyetir juga dengan ugal-ugalan sehingga yang naik busway bukannya merasakan nyaman tapi malah terombang-ambing. Sayang sekali sebenarnya, karena busway menurut saya suatu program mengurangi kemacetan dan transportasi yang sangat praktis apabila dilakukan dan dijalani dengan benar serta tertib baik oleh penumpang maupun oleh penyelenggara busway, seperti sopir dan pengawas di dalam busway. Seandainya saja mereka bisa menyetir dengan baik, tentunya semua penumpang akan merasakan kenyamanan dan aman dengan naik busway, ditambah juga pengawas yg ada di dalam busway bisa memperhitungkan berapa yang harus masuk dan berapa yagg keluar agar tidak terjadi desak-desakan di dalam busway itu sendiri.
Apakah Indonesia bisa melakukan ketertiban seperti itu? Saya rasa negara kita masih membutuhkan waktu yang cukup lama untuk membangun ketertiban seperti itu. Tapi nggak ada salahnya kalau kita mulai dengan diri kita sendiri.
Umi Sugiharti: Adalah benar bahwa busway sudah sangat tidak nyaman lagi. Kebetulan kantor saya berada di Jl. Medan Merdeka Barat. Sudah barang tentu busway menjadi alternatif utama saya di sore hari karena pagi harinya saya numpang suami. Sebelum HCB dibuka, saya masih bisa berharap ada busway kosong yang langsung putar balik di halte Monas sehingga saya masih bisa duduk manis sampai Bendungan Hilir. Tapi sekarang, setelah HCB dibuka, jangan harap ada busway kosong yang siap putar balik jika antrean di halte Monas sedang panjang, kita harus bersabar sampai ada busway penuh yang datang dari arah HCB. Bus yang penuh, beraroma keringat pahit, memindahkan badan susah, bahkan kadang untuk mencari pegangan tangan saja sangat susah. Biasanya pria-pria tegap yang sedang duduk saja pura pura tidak melihat jika ada ibu hamil sedang berdiri. Jika jadwal kedatangan bus setiap 2 atau 3 menit seperti yang dulu dijanjikan, mungkin hal hal yang menjengkelkan seperti yang saya sebutkan diatas tidak akan terjadi. Dan itu berarti pemaksimalan 1 jalur publik yang sudah diambil untuk lajur busway ini. Bisa Anda bayangkan sekarang ini jalur busway seperti lebih banyak mubazir karena jarak antara 1 bus dengan bus yang lain sangat jauh. Saya sering melihat ada beberapa sopir bus umum nakal yang suka melintasi jalur busway jika jalur itu kosong. Pengelola busway, bagaimana ini?
Vincent W: Saya dari kota Sydney dan tetap memantau perkembangan kota Jakarta dan sewaktu ke Jakarta yang terkenal dengan kemacetan lalu lintasnya pada Januari yang lalu. Pada kesempatan itu saya naik busaway Kalideres terus ke Pasar Baru dan ganti dari Sawah Besar ke Dukuh Atas. Jika tidak terpaksa memang tidak sanggup naik busaway, penumpang dijejal sedemikian rupa, hingga tidak ada ruang geraknya. Untuk pegangan tangan saja sulit, apalagi dapat duduk bagi orang tua/cacat/wanita hamil. Itu baru hanya dua koridor, bagaimana lagi jika sampai sekian karoridor? Negara sudah merdeka 61 tahun, bagaimana mengatur angkutan umum yang memadai? Apalagi jika mau dibandingkan dengan negara lain?
Daniel: Saya berdomisili di daerah Kalideres dan busway adalah angkutan yang saya andalkan dalam perjalanan pergi/pulang kantor di daerah Sudirman. Dulunya,saya termasuk pengguna kendaraan pribadi yang mencoba beralih ke busway dengan alasan ketepatan waktu, kenyamanan, dan keamanan.
Namun sekarang itu semua sudah menjadi kenangan. Terlihat sekali pengelola Transjakarta tidak siap menghadapi lonjakan penumpang. Antrean panjang di halte pagi dan sore hari sudah menjadi pemandangan sehari-hari.
Saya pernah mengalami di halte Pesakih (koridor III) dimana calon penumpang sudah tidak bisa masuk lagi ke dalam halte karena sudah penuh. Antreanmengular hingga sampai ke jembatan penyeberangan. Yang bisa saya lakukan adalah kembali pulang dan mengambil kendaraan pribadi saya untuk perjalanan ke kantor.
Ada hal menarik juga dimana terlihat mobil yang dikembalikan ke pool terlalu cepat dari waktu operasional (koridor I yang saya amati). Saat pulang dari halte Polda Metro pukul 19:30 malam, sering terlihat busway melaju di jalur reguler dalam keadaan lampu mati. Padahal calon penumpang di dalam halte lumayan penuh (kira-kira 15 orang). Kesan yang timbul memang pengelola busway hanya mencari untung. Penumpang dikondisikan agar bisa di-'sarden'-kan dan diangkut dengan armada yang secukupnya. Tidak ada pertimbangan kenyamanan lagi.
Yang menggelitik adalah pernyataan Bang Yos yang mengatakan kita akan punya tambahan beberapa koridor tahun depan padahal kenyataan menunjukkan betapatidak professional dan tidak siapnya koridor yang telah ada.
Kepolisian juga menjadi titik lemah dalam semrawutnya busway koridor III. Berbagai jenis kendaraan terlihat tidak takut sama sekali untuk masuk ke jalur busway dan sepanjang yang penumpang bisa lihat dari dalam busway, polisi tidak pernah menilang mereka yang melanggar. Bagaimana ada efek jera? Tangkaplah satu-dua motor, mobil, bus (di depan Mal Taman Anggrek hingga Citraland) dan beri sanksi tilang untuk menimbulkan efek jera. Yang ada sekarang para pelanggar menertawakan polisi karena ketidakberdayaan mereka.
[detikcom]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar