Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) angkat bicara soal kasus mahasiswi dicolek kakinya saat menumpang TransJakarta.
Sebelumnya, seorang mahasiswi melapor ke Polsek Jatinegara karena merasa dilecehkan seorang pria di bus Transjakarta, (6/3/2017).
Namun, polisi menganggap tindakan itu bukan bentuk pelecehan seksual karena hanya mencolek bagian kaki.
Wakil Ketua LPSK, Lies Sulistiani, meminta supaya penanganan terhadap korban pelecehan seksual tidak dianggap sepele aparat penegak hukum.
"Meski tindakannya sedikit, tetapi dampaknya bagi korban bisa mendalam. Itulah karakteristik dampak pelecehan seksual", ujar Lies Sulistiani, di Jakarta (7/3/2017).
Dia mendesak aparat kepolisian supaya tidak buru-buru menetapkan sebuah tindakan bentuk pelecehan seksual atau bukan.
Menurut dia, aparat kepolisian harus mengkaji secara komperhensif melalui beberapa langkah yang bisa diambil.
Diantaranya menggunakan pendekatan psikologis kepada korban dan pelaku.
Selain itu, kata dia, aparat kepolisian dapat meminta bantuan psikolog Polri untuk mendalami dugaan tindak pidana.
Langkah ini sebagai jalan keluar jika tidak ditemukan bukti fisik pada korban.
"Pada beberapa pelecehan seksual yang cukup berat tidak jarang bukti fisik justru dihilangkan oleh pelaku, termasuk yang ada pada diri korban", ungkap Lies.
Dia menambahkan, adanya pemanfaatan ilmu pengetahuan, termasuk psikologi, maka kejahatan-kejahatan dengan tingkat kesulitan pengungkapan yang sulit bisa diungkap.
Dengan demikian diharapkan keadilan bagi korban bisa didapat.
Lies juga mengingatkan bahwa pelecehan seksual atau tidak bergantung pula atas persetujuan sebuah tindakan seksual seseorang atas orang lain.
Jika tidak ada persetujuan, maka tindakan seksual sekecil apapun bisa dianggap perbuatan yang melecehkan.
"Tanpa persetujuan, colekan sedikit apapun bisa memberikan dampak kurang menyenangkan bagi orang yang dicolek", pungkas Lies.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar