Senin, 05 Januari 2004

Senja yang Indah di Bogota


Penerapan busway di Bogota cukup berhasil karena dipadu dengan penataan kota yang matang. Inilah hasil lawatan TEMPO ke sana.

CUACA di Kota Bogota selalu sulit ditebak. Hujan bisa turun kapan saja karena setiap hari awan lalu-lalang di langit. Bertengger di ketinggian 2.764 meter di atas permukaan laut, ibu kota Negara Kolombia ini terbilang murah hujan. Musim panas dan musim dingin hanya bisa dibedakan dari suhu udaranya. Pada musim panas, udaranya sedikit lebih hangat, tapi hujan tetap saja bisa tercurah setiap saat.

Seperti sore itu. Gerimis tiba-tiba turun lagi setelah matahari sempat menyebarkan sinarnya beberapa lama. Genangan air hujan di Avenida Caracas (jalan utama Bogota) yang belum mengering diguyur lagi air. Dengan mengenakan jas hujan dan payung, orang yang berlalu-lalang buru-buru memenuhi trotoar di sepanjang jalan teramai dan tersibuk itu. Jalan ini membelah Bogota dari pusat perkantoran Gonzalo Jimenez de Quesada dan kota tua El Centro-La Candelaria di sebelah selatan hingga permukiman elite La Calleza di utara.

Keheranan segera menyergap TEMPO yang mengunjungi kota tersebut belum lama ini. Genangan air hujan dan kerumunan orang di trotoar itu sama sekali tidak membuat lalu lintas macet seperti yang biasa terjadi di Jakarta. Kesibukan hanya terlihat di sisi tengah ruas jalan. Di sana hilir-mudik bus-bus berwarna merah yang amat nyaman ditumpangi. Orang Bogota menyebutnya transmilenio. Bus-bus inilah yang menjadi tulang punggung transportasi massal di kota itu.

Warga Bogota telah melupakan kemacetan lalu lintas yang pernah membekap kota berpenduduk 7 juta jiwa ini. Dulu Jalan Avenida Caracas termasuk yang paling parah menderita kemacetan. Sekarang? Lalu lintas di sana sungguh lancar karena tidak terlalu banyak kendaraan pribadi yang berlalu-lalang. Warga kini lebih suka naik bus. Lihatlah ketika lampu merah di persimpangan Avenida Caracas-Calle 76 menyala. Orang yang berkerumunan segera berpindah ke halte bus di tengah ruas jalan. Di dalam halte yang lapang membujur sepanjang 50 meter itu, mereka cukup membayar 1.000 peso (sekitar Rp 2.900 ) untuk karcis segala jurusan. Setelah mendapat karcis token itu (karcis plastik bermagnet), mereka menunggu tak sampai lima menit. Empat pintu kaca halte dan bus lalu terbuka otomatis.

Tertib mereka masuk ke dalam bus. Pada suatu saat, TEMPO melihat para penumpang memberikan kesempatan kepada pengguna kursi roda masuk dengan mandiri. Maklum, pintu hanya terbuka satu menit pas. Di dalam bus sudah tersedia dua tempat khusus kursi roda. Ada juga kursi khusus wanita hamil dan orang tua. Dalam transmilenio yang terdiri atas dua gerbong bus, tersedia lebih banyak tempat untuk berdiri ketimbang tempat duduk. Setelah pintu tertutup lagi, meluncurlah bus itu dengan lancar.

Mereka yang kebanyakan berdasi kini lebih suka meninggalkan mobil pribadinya di garasi rumah. "Dengan bus ini, saya hanya membutuhkan waktu tak sampai 20 menit sampai di rumah setiap hari," ujar Pedro Antonana Abalos, seorang eksekutif bank di kawasan Gonzale Jimenez, dengan bahasa Inggris yang fasih. Di Bogota, yang penduduknya berbahasa ibu Spanyol, amat jarang ditemukan orang yang bisa berbahasa Inggris, kecuali di kalangan elite.

Simpel, murah, dan yang pasti cepat, itulah alasan orang memilih transmilenio. Sistem transportasi ini bisa mengurangi kemacetan lalu lintas hingga 40 persen pada jam sibuk. Saat ini, dengan 470 bus, bisa dilayani sekitar 700 ribu penumpang setiap harinya. Pelayanan ini semakin baik karena pemerintah Kota Bogota berhasil menyelesaikan beberapa koridor busway ke arah Avenida Americana. Rencananya, hingga tahun 2015, jalur ini akan terus diperpanjang sehingga dapat menggapai 85 persen warga Bogota.

Kisah sukses penerapan transmilenio segera saja menyebar ke seantero dunia. Beberapa negara berupaya mengadopsinya, termasuk Jakarta. Tapi, harap diingat, transmilenio di Bogota bukanlah kisah Bandung Bondowoso yang berhasil membangun 1.000 candi dalam semalam. Bogota mempersiapkan sistem angkutan massal itu sejak sembilan tahun lalu. Juga penting dicatat, keberhasilan sistem busway di sana hanyalah bagian dari berhasilnya pembenahan tata kota secara menyeluruh.

Dua Wali Kota Bogota yang amat gigih merencanakan dan kemudian melaksanakan transmilenio adalah Antanas Mockus Civicas dan Enrique Penalosa. Mereka secara bergiliran memerintah Bogota sejak 1995 dan dengan konsisten membenahi tata kota Bogota. Keduanya, yang berlatar belakang akademis dan hampir tak punya pengalaman politik, bersikeras menjadikan Bogota sebagai kota yang humanistis. "Kota layaknya jalinan sosial yang padat, tempat semua fasilitas seperti ruang publik, seni budaya, dan pendidikan harus dibangun untuk seluruh warga," ujar Antanas Mockus Civicas. Dia dikenal sebagai profesor matematika dan filsafat sebelum tampil sebagai wali kota.

Selama masa pemerintahannya (1995-1997), Civicas memfokuskan diri buat mendidik warga Bogota agar merasa memiliki kotanya dan bersama-sama mengelola kotanya. Dia mulai membenahi fasilitas publik. Di antaranya mengubah kawasan kumuh di sudut kota menjadi taman kota. Jalan-jalan raya dan pedestrian diperlebar. Lalu sang Wali Kota mulai memikirkan sistem transportasi massal yang cocok untuk Bogota. Menurut catatan Kedutaan Besar RI di Bogota, saat itu ia merancang sistem subway (kereta bawah tanah). Tapi, karena biayanya sangat mahal, ia akhirnya memutuskan memperlebar jalan-jalan utama dan memperbaiki trotoar sebagai langkah awal penerapan busway.

Pada 1997, Wali Kota Penalosa, seorang akademisi ekonomi, meneruskan semua kebijakan dan konsep tata kota yang dirintis Mockus Civicas. Penalosa melakukan pembenahan besar-besaran. Dia memperbanyak taman hingga mencapai 1.200-an buah. Beberapa jalan raya bahkan diubahnya menjadi plaza untuk pejalan kaki. Kini beberapa tempat yang dibangunnya, antara lain kawasan bernama Zona Rosa, menjadi tempat nongkrong yang paling mentereng di Bogota. "Sementara orang kaya dapat bersantai di country club, kalangan bawah bisa menikmati hari liburnya di taman-taman kota," kata Penalosa dalam sebuah seminar tata kota negara dunia ketiga di Bogota yang dihadiri lebih dari 30 negara pada tahun lalu.

Saat Penalosa memerintah Bogota, konsep busway benar-benar digodok matang. Dia sungguh risau terhadap kemacetan lalu lintas yang terjadi di berbagai ruas jalan dan menyebabkan polusi udara yang luar biasa. Di Jalan Avenida Caracas, misalnya, dibutuhkan waktu sampai satu jam untuk bergerak dan melewati beberapa blok. Ini amat menyiksa warga. "Tidak adil rasanya jika kendaraan menjajah hampir semua ruang jalan. Waktu warga yang dihabiskan di jalanan juga mengurangi produktivitas mereka," ujarnya suatu saat di depan pejabat Bank Dunia.

Sang Wali Kota lalu melirik sistem busway yang telah diterapkan di beberapa negara Amerika Latin lainnya. Dia menilai sistem ini lebih murah dibandingkan dengan jenis transportasi massal lainnya. Hanya, Penalosa tak menjiplak begitu saja. Ia juga mengantisipasi jika suatu saat sistem busway mesti dikombinasikan dengan sistem subway. Ide dasarnya adalah bagaimana memindahkan orang yang duduk di dalam kendaraan pribadi dalam kemacetan ke sistem transportasi massal.

Bukan cuma demi mengurangi kemacetan, konsep busway yang belakangan diberi nama transmilenio itu dirancang buat memudahkan setiap warga bepergian. Itu sebabnya bus transmilenio dilengkapi dengan fasilitas yang memudahkan anak-anak, orang cacat, wanita hamil, dan orang lanjut usia masuk ke dalamnya.

Agar diterima warganya, terutama yang sebelumnya biasa naik mobil pribadi, Penalosa melakukan kampanye besar-besaran. Dia bahkan menyisihkan 30 persen anggaran belanja kotanya hanya untuk mendidik masyarakat agar memahami busway. Ahli ekonomi ini juga gencar mendatangkan sukarelawan ke sekolah-sekolah dengan harapan anak-anak bercerita kepada orang tua di rumah. Di perempatan jalan, dia menaruh artis-artis pantomim untuk berkampanye kepada para pengemudi. Dia juga mulai menyebarkan poster busway.

Untuk mengurangi mobil pribadi yang berlalu-lalang, Penalosa memberlakukan kebijakan pico y placa (pembatasan kendaraan pada jam sibuk). Selama dua hari dalam seminggu, pemilik kendaraan pribadi tidak bisa ke luar rumah pada jam-jam sibuk. Misalnya, kendaraan berpelat nomor buntut 1 hingga 4 tidak boleh keluar dari garasi pada hari Senin dan Kamis. Cara ini ternyata cukup efektif, bisa mengurangi kepadatan lalu lintas pada jam sibuk.

Kebijakan itu semula tidak diterima begitu saja oleh sebagian besar warga. Penalosa kerap dihujani kritik karena menghapus jalan sebagai pedestrian dan mengurangi hak pengguna mobil pribadi. Tapi lama-lama warga mulai memahami tujuan dari semua kebijakannya.

Ketika warga mulai siap menerima angkutan massal, sang Wali Kota menyiapkan infrastruktur busway dengan dana US$ 350 juta. Pada tahap awal, dia hanya membangun 48 kilometer jalur transmilenio, melintang sepanjang jalan utama Avenida Caracas, Autopista Medellin, dan Carrera 30. Jembatan penyeberangan pun didirikan dan dapat dinaiki dengan mudah bahkan oleh orang cacat karena sangat landai.

Pada setiap simpul jalur busway, terdapat terminal feeder yang terpadu dan luas. Terminal pemasok ini memudahkan orang berpindah dari bus biasa ke bus angkutan massal. Lalu sebanyak 60 halte dengan bahan baja dan kaca didirikan di sepanjang jalur busway.

Kesulitan sempat muncul karena di Jalan Avenida Caracas terdapat situs sejarah kota tua Bogota El-Centro dan bangunan-bangunan tua. Jika didirikan jembatan penyeberangan dan halte di kawasan ini, situs bersejarah tersebut akan rusak. Akhirnya Penalosa memutuskan untuk tidak merusak nilai seni dan keindahan situs ini. Dia cuma membangun halte di setiap persimpangan jalan terdekat, sehingga orang dapat dengan mudah mencapai kawasan tersebut hanya dengan menyeberang di zebra cross.

Setelah segala persiapan dilakukan, akhirnya pada tahun 2000 bus-bus transmilenio mulai dioperasikan di jalur busway. Praktis di sepanjang jalur itu tidak ada bus jenis lain yang berkeliaran. Bus-bus lain yang sebelumnya beroperasi di sana dialihkan fungsinya menjadi bus feeder, yang memasok penumpang ke bus transmilenio. Segalanya berjalan lancar karena masyarakat memahami kebijakan tersebut jauh-jauh hari.

Kendati dinilai cukup berhasil mengurangi kemacetan lalu litas, Penalosa tidak terpilih lagi menjadi wali kota pada tahun 2000 lalu. Yang tampil kembali justru Mockus Civicas, peletak dasar konsep transportasi massal di Bogota. Dilihat dari dukungan politik, ahli matematika ini memang lebih kuat.

Mendapat kesempatan kedua memerintah, Civicas segera menyempurnakan sistem transportasi di Bogota. Pada 2002, ia memberlakukan car free day. Sebagian besar jalan raya setiap hari Minggu haram bagi pengendara mobil, tapi dibuka lebar-lebar bagi pejalan kaki dan pengendara sepeda.

Bogota memang dikenal sebagai kota yang memiliki jalur sepeda terpanjang di dunia, lebih dari 200 kilometer. Kebijakan hari bebas mobil membuat semakin banyak orang bersepeda yang tumpah di jalanan. Apalagi pada dasarnya warga Bogota memang senang berjalan kaki dan bersepeda.

Penataan kota yang dilakukan Penalosa dan Mockus Civicas kini telah dirasakan hasilnya. Bogota, yang sempat dijuluki sebagai kandang kriminalitas, polusi udara, dan kemacetan lalu lintas, kini menjadi kota yang sangat humanistis. Dalam kurun 1995 hingga 2002, angka kriminalitas di kota ini menurun drastis, dari 84 kasus per 1.000 orang menjadi 30 kasus per 1.000 orang. Angka kecelakaan lalu lintas pun mengecil. Pada 1995 tercatat 1.387 kasus, tapi pada 2002 telah menciut menjadi 697 kasus saja.

Saat TEMPO menjelajahi kota ini, di mana-mana terbentang fasilitas yang menghadirkan kenyamanan bagi warganya. Jalur hijau yang rimbun, pedestrian yang lapang, dan taman kota yang indah bisa ditemukan di setiap jengkal kota. Semua itu berpadu dengan apartemen dan rumah susun (dihuni kalangan kelas bawah dan kelas atas) yang berderet rapi. Di setiap simpul deretan rumah susun selalu tersedia taman yang asri.

Kondisi politik yang kurang aman di Negara Kolombia juga tak membuat warga kehilangan rasa aman. Soalnya, di setiap sudut kota selalu ada aparat yang berjaga-jaga. Di setiap pintu masuk halte busway juga selalu berdiri dua penjaga bersenapan. Mereka siap mengantisipasi serangan dan sabotase para gerilyawan, yang kerap terjadi di kota itu.

Keberhasilan Bogota dalam menata kotanya memang cukup mengagumkan. Apalagi Kolombia masih masuk kategori negara berkembang. Penduduknya berpendapatan US$ 2.900 per kapita. Tingkat penganggurannya pun cukup tinggi, sekitar 16 persen di Kota Bogota. Sebanyak 1,6 juta jiwa warganya masih hidup di bawah garis kemiskinan.

Adanya transportasi massal yang efektif membuat warga tak gampang mengalami stres saat cuaca berubah atau hujan turun. Dengan langkah riang mereka bisa menuju halte bus transmilenio yang berada di setiap simpul jalan. Seperti yang terjadi di suatu sore. Seorang lekaki bernama Ricardo Alberto Cruz Moreno tampak berdiri santai di sebuah bus transmilenio. Hanya dalam beberapa menit naik bus, direktur pemasaran sebuah stasiun televisi di Bogota ini akan sampai di dekat rumahnya. "Awalnya saya sendiri meragukan sistem transportasi ini, tapi kini saya bangga dan mulai menggunakannya," ujarnya kepada TEMPO.

Dari dalam bus transmilenio, sore itu Jalan Avenida Caracas tampak semakin basah diguyur gerimis. Walau beberapa ruas jalan digenangi air, semua kendaraan mengalir lancar. Tiada polisi yang mesti berbasah kuyup mengatur lalu lintas. Udara cukup bersih karena kendaraan bermotor tidak menjajah jalanan. Ketika hari mulai meremang, lampu di halte-halte, gedung-gedung, dan juga taman mulai menyala. Dihiasi gerimis yang enggan reda, senja itu sungguh indah di Bogota.

Endah W.S. (Bogota)
[Majalah Tempo Edisi. 45/XXXII/05 - 11 Januari 2004 / Batavia Busway]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar