Nasib sebuah kota bukan hanya ditentukan segumpal cita-cita. Nasib sebuah kota juga bukan ditentukan hanya karena sang gubernur ingin dikenang-kenang
sebagai pemimpin yang berjasa. Ada banyak hal yang melibatkan penataannya: perencanaan, perencanaan, perencanaan. Studi lapangan dan perbandingan bagaimana sebuah sistem itu bisa diterapkan di sebuah kota sebesar, segemuk,dan serumit Jakarta.
Transportasi busway adalah sebuah cita-cita untuk menyelesaikan problem transportasi di Jakarta. Sebuah keinginan besar (yang memang terpuji) untuk menciptakan transportasi publik agar penduduk Jakarta tak melulu memenuhi jalan-jalan ini dengan ego dalam bentuk pameran mobil mewah. Tapi marilah tengok sebentar hari-hari awal peluncurannya.
Sejak Kamis pekan lalu, wajah Jakarta segera berubah. Lima puluh enam buah bus Transjakarta berwarna kuning-merah menghiasi koridor Blok M— Kota sepanjang 12,9 kilometer. Iring-iringan bus berlambang burung garuda itu melaju tanpa hambatan. Kontras dengan pemandangan ruas jalan di kiri-kanan yang mengapitnya: ratusan kendaraan merayap, tersendat, bahkan macet total. Mungkin lama-kelamaan para OKB (orang kaya baru) yang mengoleksi sampai delapan buah mobil di rumahnya akan mulai malas memamerkannya di jalan-jalan yang sungguh macet ini.
Sebagai barang baru di kota yang ruwet ini, bus Transjakarta menggairahkan. Para calon penumpang rela ber- desakan sejak pagi di halte dan langsung "menyerbu" busway itu tanpa antre. Karena muatannya melebihi kapasitas, bus ber-AC itu tetap terasa gerah. Penumpang berjejalan, berimpitan, nyaris tak bisa bergerak. Alhasil, bus yang idealnya hanya berpenumpang 55 berdiri dan 31 duduk itu menjadi kian supersesak. Mirip dengan pemandangan di kereta rel listrik kelas ekonomi pada jam sibuk.
Selain perilaku penumpang yang belum disiplin, beberapa sopir bus Transjakarta juga tampak belum mahir mengendalikan kendaraannya, terutama saat bus berhenti di halte. Sejumlah bus harus maju-mundur untuk mencari posisi agar pintunya terbuka. Kekacauan itu menunjukkan ketidakmatangan peluncuran busway. Bagai seorang bayi yang lahir prematur. Amat tergesa.
Kendati tergesa-gesa, Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso berprinsip, the show must go on. Tiada yang boleh membatalkan "pentas teater busway" yang telah tergelar. Sutiyoso berambisi menjadikan busway sebagai satu di antara tulang punggung transportasi massal Jakarta di masa depan. Ia ingin menggiring masyarakat untuk terbiasa menggunakan angkutan umum, bukan mobil pribadi.
(Majalah Tempo Edisi. 47/XXXII/19 - 25 Januari 2004 / Batavia Busway)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar